Wednesday, March 2, 2011

Mengenang Cikal Bakal Lahirnya Sang Bayi - BOB

VONIS MATI UNTUK CALTEX.
Kontrak Caltex di blok CPP tidak akan diperpanjang lagi
Caltex menolak mengalihkan 10% sahamnya di sumur minyak blok Coastal
Plains Pekanbaru (CPP) kepada Pertamina. Ia pun menginginkan bagi
hasil diubah menjadi 80:20. Pertamina marah, kontrak Caltex di blok CPP
ak-hirnya tak diperpanjang.
Caltex, perusahaan minyak Amerika yang paling besar produksinya di
Indonesia, tiba-tiba menjadi buah bibir. Cerita resminya begini. Kontrak
karya Caltex di blok CPP akan habis tahun 2001. Mulai saat itu, kontrak
bagi hasil (production sharing) di blok tersebut tidak diperpanjang lagi
oleh Pertamina. Keputusan yang cukup mengejutkan ini sudah dimumkan
Menteri Pertambangan dan Energi IB Sudjana, pekan lalu. Selanjutnya,
seluruh ladang minyak yang terletak di blok CPP akan dioperasikan
Pertamina.
Mengapa tidak diperpanjang? Rupanya keluwesan atau insentif yang menjadi
soal. Ketika mengajukan perpanjangan kontrak, tahun 1993, Caltex
menginginkan porsi pembagian dengan Pertamina diubah dari 85:15 menjadi
80:20. Perusahaan milik Texaco Overseas Petroleum dan Chevron Asiatic
Limited ini juga menolak untuk me-lepas 10% sahamnya di blok CPP kepada
Pertamina. Caltex juga menolak untuk menyisihkan 50% wilayah CPP dalam
10 tahun. Sedang dari US$ 10 juta bonus yang diminta, Caltex hanya
menyanggupi sebesar US$ 4 juta.
Akhirnya, 2 Juli lalu, Caltex sedikit melunak. Misalnya, perusahaan
minyak itu bersedia mengalihkan 10% sahamnya di CPP kepada Pertamina.
Caltex juga akan melakukan investasi sebesar US$ 50 juta hingga tahun
2001. Satu-satunya permintaan Pertamina yang ditolak adalah soal bonus.
Tapi, semua itu masih dengan embel-embel. Pelepasan saham, umpamanya,
dihitung dari temuan lapangan baru. Padahal, Pertamina sendiri
menginginkan saham itu dihitung dari seluruh produksi CPP.
Caltex pun menginginkan agar bagi hasil dengan Pertamina ditetapkan
80:20. "Ini kemunduran," kata Direktur Pertamina Faisal Abda'oe. Bisa
dimengerti kalau Faisal Abd'oe ingin bertahan pada pembagian 85:15.
Pasalnya, seperti dikatakan beberapa pengamat minyak, Caltex masih
untung besar dengan bagi hasil seperti itu. Alasannya, blok CPP
tergolong ladang lama, sehingga biaya produksinya rendah, sekitar US$ 3
per barel.
Begini perhitungannya. Taruhlah, Caltex nantinya menanamkan investasi
baru sebesar US$ 50 juta atau sekitar US$ 6,25 juta per tahun mulai dari
1993 hingga tahun 2001. Dengan total produksi blok CPP 77.000 barel per
hari dan harga ekspor minyak sekitar US$ 21 per barel, itu berarti akan
menghasilkan pemasukan US$ 1,6 juta per hari atau sekitar US$ 584 juta
per tahun. Kalau Caltex sebagai kontraktor mendapatkan bagian prorata
15%, dalam setahun perolehannya US$ 87 juta. Sedangkan Pertamina akan
memperoleh US$ 500 juta lebih. Perhitungan ini memang sangat sederhana.
Tapi, dari angka itu sedikit tergambar bahwa dengan bagi hasil lama pun
sesungguhnya Caltex masih untung.
Maka, ketika Caltex menolak permintaan pemerintah, Pertamina pun memberi
vonis mati: tidak memperpanjang kontrak perusahaan minyak Amerika ini.
Hanya, yang masih menjadi tanda tanya, mampukah Pertamina mengoperasikan
ladang minyak yang akan ditinggalkan Caltex? Soalnya, jika gagal, devisa
dari blok CPP yang setiap tahunnya mencapai US$ 50 juta bisa turun.
"Pertamina telah berpengalaman melakukan operasi eksplorasi di mature
area, seperti halnya blok CPP," kata Abda'oe.
Abda'oe memang tidak menyangkal bahwa pemasukan dari blok CPP akan
turun. Hal itu, menurut Abda'oe, karena Caltex akan membatalkan
pembangunan proyek Enhanced Oil Recovery (EOR). Tapi, mulai 2001,
produksi CPP bisa ditingkatkan menjadi 453 juta barel per tahun atau
lebih tinggi 183 juta barel. Dengan produksi sebesar itu, uang yang
masuk ke kas negara diperkirakan akan mencapai US$ 4,1 miliar per tahun.
Berarti US$ 460 juta lebih tingi daripada yang disumbangkan Caltex.
"Kalau ditambah dengan bagian Pertamina, jumlahnya akan mencapai US$ 4,5
miliar," kata Abda'oe.
Ada cadangan devisa sebesar US$ 9 miliar
Sayang, Abda’oe tak menjelaskan mengapa Pertamina bisa meningkatkan
produksi minyak blok CPP hingga 40%. Ia hanya mengatakan bahwa saat ini
Pertamina telah menganggarkan dana US$ 1,3 miliar untuk diinvestasikan
di CPP selama 20 tahun. Di samping dana, untuk mengambil alih CPP dari
Caltex, telah pula dibentuk Tim Task Force Pertamina. Sedangkan di
bidang sumber daya manusia, seperti dikatakan Abda'oe, Pertamina telah
menyiapkan sekitar 65 tenaga ahli di berbagai bidang. Dengan kata lain,
langkah-langkah untuk mengambil alih blok CPP agaknya sudah dipersiapkan
BUMN ini secara matang.
Lain Pertamina, lain pula Caltex. Direktur Utama Caltex, Baihaki Hakim,
sampai Selasa lalu hanya bisa pasrah. "Kami shock, kaget," kata Baihaki,
tampak murung. Ya, memang itulah yang dirasakan pihak Caltex, di samping
mulai mengerem investasinya di blok CPP. Saat ini Caltex mengoperasikan
sumur-sumur minyak di Blok Rokan, Siak, MFK, dan CPP. Dari empat blok
ini, setiap harinya, berhasil disedot minyak sebanyak 805.000 barel.
Sumbangan blok CPP terhadap total produksi Caltex relatif kecil, cuma
9,7%.
Namun, di sumur-sumur minyak blok CPP kini diperkirakan masih tersimpan
cadangan minyak sebesar 540 juta barel. Dengan harga minyak US$ 16,5
per barel saja, berarti di blok CPP masih tersedia cadangan devisa
sebesar US$ 9 miliar. Itulah, menurut Baihaki Hakim, mengapa Caltex
merasa terpukul dengan keputusan pemerintah. "Kami percaya, pemerintah
mau meninjau keputusan itu," kata Baihaki.
Caltex, seperti dikatakan Baihaki, sebenarnya bukan tidak bersedia
mengalihkan 10% sahamnya di CPP kepada Pertamina. Yang membuat kesal
pihak Caltex, menurut Baihaki, kebijakan itu ternyata tidak diwajibkan
kepada kontraktor minyak asing lainnya. "Sebetulnya kami tidak ngotot,"
kata Baihaki. Mungkin Caltex tidak bermaksud pelit. Tapi, jika nasi
sudah menjadi bubur, apa daya?
_

_______________________________________
Kutipan press release Pertamina :
PERTAMINA MAMPU MENGOPERASIKAN WILAYAH BLOK CPP
- PT. CALTEX PASIFIC INDONESIA
Jakarta, 23 Juli 1997
Dirut Pertamina F. Abda'oe kembali menegaskan bahwa Pertamina mampu untuk
mengoperasikan wilayah kerja PT Caltex Pacific Indonesia di blok Coastal
Plain Pakanbaru (CPP) Riau yang kontraknya akan berakhir pada tahun 2001.
Keraguan sementara pihak bahwa Pertamina belum menguasai teknologi EOR
adalah tidak beralasan karena Pertamina telah melaksanakan kegiatan
teknologi EOR pada lapangan-lapangan minyak yang dikelolanya sendiri maupun yang dikelola bersama dengan mitra usaha KPS lainnya.
Teknologi yang akan diterapkan oleh PT. CPI di kawasan tersebut
merupakan teknologi maju namun tetap merupakan suatu teknologi yang
dapat segera dikuasai oleh karyawan Pertamina.
Mengenai perbedaan besar kecil biaya produksi yang dilakukan oleh
Pertamina, dijelaskan bahwa setiap lapangan minyak mempunyai
karakteristik yang berbeda antara satu lapangan dengan lapangan yang lain.
Biaya produksi suatu lapangan ditentukan antara lain besarnya cadangan
dan produksi lapangan, lokasi dan prasarana yang tersedia di sekitar lokasi
lapangan minyak tersebut.
Untuk lapangan minyak PT CPI di blok CPP, Pertamina dapat menyamai
dengan biaya produksi yang sama seperti yang dilakukan oleh PT CPI
dengan menetapkan sistim pengelolaan yang optimal.
Mengenai kehawatiran bahwa bila lapangan minyak di blok CPP - Riau
tersebut dioperasikan oleh Pertamina akan mengurangi pendapatan
nasional dijelaskan bahwa kekhawatiran tersebut tidak beralasan .
Bahwa bila lapangan minyak blok CPP tersebut dioperasikan oleh
Pertamina hasilnya secara keseluruhan dapat dimanfaatkan secara
maksimal oleh Pemerintah.

Keputusan untuk diperpanjang atau tidak diperpanjangnya suatu kontrak
pada suatu daerah tertentu yang sudah habis masa berlakunya adalah suatu
keputusan yang diambil dengan pertimbangan ekonomi - komersial yang
dilandasi azas manfaat yang sebesar-besarnya untuk kepentingan nasional.
Dan kemungkinan untuk tidak diperpanjangnya suatu kontrak ini sudah
diketahui dan dipahami sejak awal oleh para KPS ketika menandatangani
kontrak PSC dengan Pertamina.
Dengan demikian tidak diperpanjangnya kontrak dengan PT CPI untuk
blok CPP ini bukan merupakan suatu hal luar biasa dan tidak akan
mempengaruhi iklim investasi di sektor migas.
Kontrak antara Pertamina dengan PT CPI untuk daratan Sumatera Tengah,
Blok Coastal Plains Pakanbaru (CPP) ditandatangani pada tanggal
9 Agustus 1971 dan berakhir pada tahun 2001.
Pembagian hasil antara Pemerintah dengan PT CPI untuk minyak adalah
85:15 dan produksi daerah wilayah kerja blok CPP saat ini adalah
76.000 bbl/hari.

****
Edisi Khusus Kemerdekaan
Iklim Senja Sang Juara

Jakarta, 14 Agustus 2002 00:21
PEKAN ini, tatkala Republik Indonesia masih merayakan ulang tahunnya yang ke-57, warga Riau punya pesta lain. Sejak pekan lalu, tepatnya pada 8 Agustus, pengelolaan lapangan minyak blok Coastal Plain Pekanbaru (biasa disingkat CPP) beralih ke tangan mereka. Sebuah badan usaha milik daerah (BUMD) dibentuk untuk mengelola ladang itu. Namanya, Bumi Siak Pusako.


Di dalam BUMD itu bergabung Pemerintah Kabupaten Siak, Kampar, Bengkalis, Provinsi Riau, dan pihak luar yang jadi mitra. Pemerintah provinsi membentuk PT Riau Petroleum untuk mewakili kepemilikannya. Maunya, provinsi memiliki saham yang gede. Apa daya, Kabupaten Siak juga punya keinginan serupa, karena 90% wilayah blok CPP terletak di situ. "Tuntutan ini sangat wajar," kata Bupati Siak, Arwin A.S. Namun, provinsi hanya setuju bila Siak maksimal menguasai 40%.

Perebutan wilayah antar sesama saudara ini ujung-ujungnya adalah duit. Rezeki dari CPP memang bisa bikin ngiler. Dewasa ini, blok itu memiliki 25 ladang, dengan hasil 70.000 barel minyak lebih sehari. Lumayan menebalkan kantong anggaran daerah. "Dengan menguasai ladang CPP, kami berharap, pendapatan asli daerah meningkat," kata Asparaini Rasyad, Asisten II Bidang Ekonomi Pemerintah Provinsi Riau, yang ikut mengurusi pengalihan ladang CPP.

Minyak memang menjadi andalan dalam menggulirkan kegiatan ekonomi, terutama sejak berlakunya otonomi daerah. Untuk itu, kabupaten dan provinsi penghasil minyak dan gas bersatu padu, mendesak pemerintah pusat agar bagian rezeki untuk daerah bertambah. Tuntutan itu diperjuangkan melalui Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas, organisasi beranggota 52 kabupaten dan kota madya serta 14 provinsi. Forum ini diketuai Irianto M.S. Syafiuddin, Bupati Indramayu, dan Irwan Nuranda Djafar, Bupati Lampung Timur.

Dalam pandangan daerah yang diuntungkan oleh kekayaan alam itu, harta mereka dikuras pemerintah pusat secara besar-besaran. Yang tersisa di daerah jauh di bawah wajar. Indramayu, Jawa Barat, misalnya, yang tahun ini menghasilkan 3,4 juta barel, ternyata hanya mendapat bagian Rp 9,2 milyar. Padahal, biaya produksi untuk mengolah minyak sebesar itu adalah Rp 252,17 milyar. "Besarnya bagian kabupaten dengan ongkos produksinya sama sekali tidak seimbang," kata Drajat Hadiwijoyo, Direktur Manajemen Forum Konsultasi.

Namun, dalam pandangan pemerintah, bagian untuk daerah itu sudah sesuai dengan aturan. "Ongkos untuk menghasilkan minyak juga harus dihitung," kata Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, Darmin Nasution.

Perselisihan pemerintah pusat dengan daerah itu tampaknya akan terus berlanjut di era otonomi daerah ini. Harus diakui, jauh lebih mudah menduitkan anugerah Tuhan berupa minyak ketimbang harus bersusah payah menggembungkan kocek anggaran melalui, misalnya, industri jasa. Dalam bahasa gampang, bila punya tambang, bupati atau gubernur tinggal ongkang-ongkang kaki, duit akan datang. Kontraktor akan datang. Kewenangan mengendalikan kontraktor itu kini sebagian besar masih di tangan pemerintah pusat. Inilah yang ingin direbut daerah.

Minyak memang menjadi tumpuan anggaran. Di awal pemerintahan Orde Baru, misalnya, penerimaan dari minyak betul-betul jadi andalan untuk melicinkan roda anggaran. Pada 1974, penerimaan dari minyak dan gas menempati lebih dari separuh pendapatan dalam negeri.

Jumlah itu makin berkurang, seiring dengan membaiknya penerimaan dari pajak, cukai, dan ekspor. Pada 1994, tatkala ekonomi Indonesia kepanasan lantaran pertumbuhan yang pesat, penghasilan dari minyak bumi hanya menyangga seperlima dari penerimaan dalam negeri. Porsi itu meningkat kembali di era krisis ekonomi (lihat tabel). Bisa dimaklumi, lunglainya rupiah membuat sebagian besar industri, terutama milik konglomerat, terkapar. Penerimaan dari pajak pun ikut berkurang.

"Minyak dan gas memang menjadi andalan APBN kita," kata Direktur Jenderal (Dirjen) Anggaran, Abdul Anshari Ritonga. Tapi, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nomensen, Medan, Sumatera Utara, ini tak setuju terhadap pernyataan bahwa minyak dan gas bisa menggantikan peran pajak. "Kedua sektor itu adalah tiang utama APBN kita," kata mantan Dirjen Pajak itu.
Sang tiang itu, sayangnya, kini dimakan rayap krisis. Reformasi, yang pada awalnya dicita-citakan untuk membuat kehidupan lebih baik, tak kunjung membuahkan hasil. Situasi carut-marut sebaliknya tak kunjung pergi. Berbagai daerah, misalnya, kini berlaku bak pemerintah pusat. Mereka tak takut lagi mematok berbagai retribusi.

Peristiwa ini bisa kita saksikan di Garut, Jawa Barat. Di situ berdiri pembangkit listrik tenaga panas bumi Gunung Drajad, yang dikelola Amoseas, perusahaan energi dari Amerika Serikat. Setelah berlakunya era otonomi daerah, Pemerintah Kabupaten Garut menetapkan berbagai retribusi, dari uang untuk tenaga keamanan hingga bangunan pagar. "Padahal, di kontrak yang kami teken, hal-hal seperti itu tak ada," kata Riki F. Ibrahim, eksekutif Amoseas di Jakarta, yang ikut menangani proyek di Garut itu.

Tambang minyak Caltex (Riau), ExxonMobil (Jawa Timur), batu bara Kaltim Prima Coal (Kalimantan Timur), ladang gas Tangguh (Irian Jaya) mengalami nasib hampir sama. Ancaman pemblokiran dari warga sekitar, yang merasa sebagai pewaris sah anugerah Tuhan itu, sewaktu-waktu bisa menimpa. Padahal, para pengusaha tambang itu merasa, sebagai pengusaha yang sudah membayar pajak dan berbagai pungutan legal --barangkali mereka juga membayar kutipan ilegal-- mereka harusnya mendapat jaminan keamanan.

Situasi runyam ini membuat penanaman modal di bidang bahan pembangkit energi, antara lain minyak, gas, batu bara, dan panas bumi, pun loyo. "Jangan berharap ada yang masuk. Yang di dalam pun memilih cabut dari Indonesia," kata Ketua Komisi VIII DPR, Irwan Prayitno. Satu di antara tugas Komisi VIII adalah mengawasi pelaksanaan pembangunan energi di Indonesia.

Berbagai keruwetan ini, kata anggota Partai Keadilan itu, adalah ketidakpastian hukum, undang-undang yang berbenturan, tuntutan warga masyarakat yang bisa mengancam kelangsungan investasi, serta tekanan lembaga swadaya masyarakat lingkungan. Ini semua, kata Irwan, karena orang lagi "senang-senagnya" melakukan reformasi.

Dirjen Minyak dan Gas, Rachmat Sudibyo, sependapat dengan Irwan. Rachmat menyebut, investasi di bidang minyak dan gas amat terganggu oleh reformasi yang ia sebut "kebablasan". "Keamanan dan penjarahan di daerah tambang membuat suasana yang menakutkan," kata Rachmat. Menghadapi keadaan yang bikin ngeri ini, katanya, kuncinya hanya satu: penegakan hukum. Tanpa itu, iklim investasi di bidang minyak dan gas akan beralih, dari "senja" menjadi "malam".

Di saat situasi di daerah-daerah tambang lagi centang perenang itu, muncul masalah lain, yakni pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 mengenai Minyak dan Gas Bumi. Beleid ini menggantikan undang-undang yang lama tentang Pertamina. Di aturan lama, Pertamina punya wewenang super. Ia adalah badan yang dinyatakan sebagai penguasa seluruh wilayah eksplorasi minyak dan gas bumi di Indonesia. Ia pula yang memonopoli pemrosesan minyak hingga memasarkannya.

Kontraktor, baik lokal maupun asing, yang akan mengelola sebuah blok untuk mencari rezeki dari gas bumi, minyak, serta geotermal harus permisi pada Pertamina. Si kuda laut ini bertindak sebagai dewan penguji. Perjanjian pengelolaan sebuah blok juga diteken si pengontrak dan Pertamina. Repotnya, Pertamina adakalanya berlaku sebagai kontraktor bagi hasil. Dewasa ini, Pertamina mengelola sejumlah sumur minyak, misalnya di Cirebon dan Indramayu (Jawa Barat), serta Prabumulih (Sumatera Selatan). Total, Pertamina menghasilkan sekitar 70.000 barel, hampir sama dengan yang dipompa Caltex di blok CPP.

Dualisme pemain dan penguasa inilah yang dibabat dalam undang-undang minyak dan gas yang baru. Pertamina kelak hanya menjadi pemain, sama dengan kontraktor lain. Sebagai regulator, akan dibentuk badan pelaksana. Repotnya, keputusan mengenai badan pelaksana itu, hingga pertengahan tahun ini, tak kunjung diteken presiden. Akibatnya gawat. Meski pemerintah sudah menawarkan 17 wilayah kontrak eksplorasi, belum satu pun yang laku.

"Kontraktor masih wait and see kepastian pembentukan badan pelaksana itu," kata Direktur Hulu Pertamina, Effendi Situmorang. Effendi adalah lulusan Institut Teknologi Bandung tahun 1974. Ia pernah bekerja di perusahaan energi Arco dan Unocal, sebelum akhirnya hinggap di Pertamina sebagai direktur pada Juli 2001. Effendi sepakat bahwa pemberlakuan otonomi daerah serta reformasi yang terlampau menggebu-gebu telah menciptakan ketidakpastian baru. Hal ini ditambah dengan belum terbentuknya badan pelaksana yang menangani kontrak minyak dan gas.

Hasilnya, kontrak bagi hasil minyak yang diteken cenderung merosot. Situasi paling buruk terjadi pada tahun 2000, saat politik Indonesia gonjang-ganjing tidak keruan. Pada tahun itu, hanya satu kontrak bagi hasil baru yang diteken. Setahun kemudian meningkat menjadi delapan. Tahun ini, hingga semester pertama lalu, masih nihil.
Indonesia seperti negeri miskin sumber daya minyak. Padahal, dilihat dari kandungan minyak buminya, Indonesia boleh berbangga. Di ASEAN, misalnya. Negeri kita, yang oleh para pendahulu kita disebut "bagaikan untaian manikam di khatulistiwa", memiliki 10 milyar barel cadangan minyak yang terbukti. Ini 10 kali dari Thailand, empat kali dari Vietnam, 30 kali dari Filipina, dan dua kali dari Malaysia (ironisnya, Petronas, BUMN minyak Malaysia, jauh lebih besar dari Pertamina).


Ongkos produksi minyak di Indonesia pun tak terbilang mahal. Tidak hanya untuk ASEAN, melainkan untuk seluruh dunia. Paling murah, tentu di Arab. Di situ, untuk membuat satu barel minyak hanya dibutuhkan US$ 1-2. Paling mahal, di Laut Brent, Norwegia. Untuk memompa minyak di laut dalam itu, dibutuhkan sekitar US$ 10 per barel. Sedangkan di Indonesia, US$ 2-3 ber barel. "Ongkos produksi minyak Indonesia ketiga termurah di dunia," kata Effendi kepada Irandito dari GATRA.

Atas dasar itu, Effendi tetap optimistis, orang luar akan memburu minyak di Indonesia. Kalau ada yang bilang bahwa mencari minyak di Indonesia tak menarik lagi, ia curiga, pernyataan itu untuk mengacaukan iklim perminyakan di Indonesia. Tapi, ia mengakui, kepastian hukum, situasi politik yang stabil, keamanan yang terjamin, akan membuat pemodal lebih terangsang memburu rezeki dari emas hitam di Indonesia.

Resep terakhir itu sebetulnya sudah diketahui, baik oleh birokrat di pemerintah pusat, daerah, lembaga swadaya masyarakat, maupun politisi di lembaga legislatif. Namun, menerapkan resep itu di lapangan sulitnya bukan main. Masing-masing pihak, atas nama rakyat, asyik bertikai memperkuat kekuasaan.

[Iwan Qodar Himawan, Oke Indrayana Trianto, Safriyal (Riau)]
[Pertambangan, GATRA, Edisi Khusus, Nomor 39 Beredar Senin 12 Agustus 2002]

No comments:

Post a Comment